PSIKOLOGI SOSIAL
A.
PENGERTIAN PSIKOLOGI SOSIAL
Psikologi sosial adalah suatu studi
tentang hubungan antara manusia dan kelompok. Psikologi sosial merupakan cabang
ilmu dari psikologi yang baru muncul dan intensif dipelajari pada tahun 1930. Secara
sederhana objek material dari psikologi sosial adalah fakta-fakta,
gejala-gejala serta kejadian-kejadian dalam kehidupan sosial manusia. Sekilas
ternyata objek psikologi sosial mirip dengan ilmu sosiolgi dan bila digambarkan
sebenarnya psikologi sosial adalah merupakan pertemuan irisan antara ilmu
psikologi dan ilmu sosilogi.
Ada beberapa
Definisi psikologi social menurut para ahli :
1.
Hubert Bonner
Psikologi Sosial adalah ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia.
2.
A.M .
chorus
Psikologi Sosial adalah ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia sebagai anggota suatu masyarakat.
3.
Roueck
and Warren dalam bukunya “Sociology“ memberikan batasan bahwa : “Psikologi
sosial ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari segisegi psychologis daripada
tingkah laku manusia, yang dipengaruhi oleh interaksi sosial.“ Dalam definisi
ini telah dinyatakan bahwa interaksi manusia telah nyata pengaruhnya pada
tingkah laku manusia.
4.
Boring,
Langveld, and Weld dalam bukunya “Foundations of Psychology “ berpendapat bahwa
: “Psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari individu manusia
dalam kelompoknya dan hubungan antara manusia dengan manusia.“
5.
Berhm & Kassin
Psikologi
Sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara individu berpikir, merasa,
dan bertingkah laku dalam setting sosial.
6.
Davis O Sears
Psikologi
Sosial merupakan usaha sistematis untuk memahami prilaku sosial, yakni :
- Bagaimana kita mengamati orang lain dan situasi social
- Bagaimana kita mengamati orang lain dan situasi social
-
Bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita
-
Bagaimana kita dipengaruhi oleh situasi social
7.
Sarlito Wirawan, setelah menyimpulkan beberapa defenisi psikologi sosial
membedakan tiga wilayah studi psikologi sosial sebagai berikut:
a)
Studi
tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya studi tentang
persepsi, motivasi, proses belajar, atribusi (sifat). Walaupun topik-topik ini
bukan monopoli dari psikologi sosial, namun psikologi sosial tidak dapat
menghindar dari studi tentang topik-topik ini.
b)
Studi
tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial dan
sebagainya.
c)
Studi
tentang interaksi kelompok, misalnya: kepemimpinan, komunikasi, hubungan
kekuasaan, otoriter, konformitas (keselarasan), kerjasama, persaingan, peran
dan sebagainya.
8.
Sherif & Musfer (1956)
psikologi
social adalah ilmu tentang pengalaman dan perilaku individu dalam kaitannya
dengan situasi stimulus social. Dalam defenisi ini, stimulus social diartikan
bukan hanya manusia, tetapi juga benda-benda dan hal-hal lain yang diberi makna
social.
9.
Krech,
Crutchfield, dan Ballachey (1962) menyatakan bahwa : “Psikologi sosial adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku individu di dalam masyarakat.“
10.
Joseph
E. Mc. Grath (1965) menyatakan bahwa : “Psikologi sosial adalah ilmu yang
menyelidiki tingkah laku manusia sebagaimana dipengaruhi oleh kehadiran,
keyakinan dan tindakan dari orang lain. “
11.
Show & Costanzo (1970)
Psikologi Sosial adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu sebagai fungsi dari
rangsang-rangsang social.
12. Gordon
Allport (1985)
Psikologi Sosial adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan, dan tingkah laku
seseorang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain, baik secara nyata/aktual,
dalam bayangan/imajinasi dan dalam kehadiran yang tidak langsung (implied).
13. Michener
& Delamater (1999)
Psikologi Sosial adalah studi alami tentang
sebab-sebab dari prilaku sosial manusia.
14. Menurut Baron & Byrne
(2006), psikologi social adalah bidang ilmu yang mencari pemahaman tetnang asal
mula dan penyebab terjadinya pikiran serta perilaku individu dalam
situasi-situasi sosial. Defenisi ini menekankan pada pentingnya pemahaman
terhadap asal mula dan penyebab terjadinya perilaku dan pikiran.
Pendapat para tokoh tentang pengertian
psikologi sosial diatas sangat beragam. Namun demikian tidaklah berarti antara
yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Perpaduan diantara pendapat
tersebut akan dapat saling melengkapi dan menyempurnakan. Rangkuman pengertian
dari berbagai pendapat tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : “Psikologi sosial
adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu
dalam hubungannya dengan situasi sosial.“ Dengan demikian membicarakan
psikologi sosial tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan individu yang
berhubungan dengan situasi-situasi sosial.
B. SEJARAH
PERKEMBANGAN PSIKOLOGI SOSIAL
Psikologi sosial menjadi satu ilmu yang mandiri baru
sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu "Introduction
to Social Psychology" ditulis oleh William McDougall -
seorang psikolog - dan "Social Psychology : An Outline and Source Book
, ditulis oleh E.A. Ross - seorang sosiolog. Berdasarkan latar
belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa
di"claim" sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian
dari sosiologi.
Publikasi lain yang dianggap fenomenal dalam kelahiran
psikologi social adalah tulisan dari Floyd Allport pada
tahun 1924. Dalam tulisannya Allport terlihat berorientasi modern, setidaknya
dalam padangan saat ini. Argumentasinya terbukti bahwa tingkah laku social
berakar dari berbagai factor, mulai dari kehadiran orang lain hingga penggunaan
metode eksperimental untuk penelitian psikologi social. Ia juga mengangkat isu
yang ternyata di kemudian hari masih diperbincangkan dan didiskusikan misalnya
konformitas dan emosi seseorang yang terlihat dari ekspresi wajah.
Tokoh lain yang berpengaruh pada perkembangan
psikologi adalah Kurt Lewin. Lewin dengan Teorinya field Theori (teori
lapangan) mengembangkan bagaimana perilaku terbentuk. Dia memberikan
rumusan teoritis B = f (P,E). Tingkah laku (B: Behavioral) merupakan hasil dari
fungsi (f) individu (P) dan lingkungan (E: Environment).
Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam
sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu
perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan
perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi
sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini
banyak dibina oleh jurusan sosiologi - di American Sociological Association
terdapat satu bagian yang dinamakan "social psychological
section", sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi
sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit
para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya,
cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya
Tahun 1970 dan 1980-an merupakan puncak masa pendewaan
psikologi social. Ragam topic penelitiannya juga meluas. Misalnya, kita temui
atribusi, sikap, perbedaan geder, psikolgi lingkungan, psikologi politik dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Di masa
depan, penelitian akan mengarah pada kognisi dan penerapan psikologi social
dengan menggunakan perfektif kebudayaan. Factor kognisi berupa atribusi, sikap,
stereotip, prasangka dan disonansi kognitif (Baron dan Byrne, 1994;
Glassman dan Hadd, 2004) adalah dasar dari tingkah laku sosial manusia.
Ketertarikan untuk mengembangkan faktor ini dalam psikologi sosial berkembang
pada tahun 1970-an. Perpektif kebudayaan dan sosial sebagai tingkat analisis
utama. Hal ini terlihat pada perkembangan identitas sosial, representasi sosial
dan sebagainya.
Kelahiran psikologi di
Indonesia menjadi awal dari keberadaan psikologi sosial di Indonesia. Diawali
dengan munculnya bagian psikologi sosial di fakultas psikologi di Universitas
Indonesia pada tahun 1967. Kelahirannya di Indonesia bersamaan
dengan masa-masa berkembangnya psikologi sosial di dunia. Selanjutnya, ditahun
yang sama, fakultas psikologi Universitas Indonesia mengembangkan bagian
psikologi sosial yang kemudian menghasilkan para peneliti-peneliti awal
psikologi sosial di Indonesia.
Psikologi
social merupakan perkembangan ilmu pengetahuan yang baru dan merupakan cabang
dari ilmu pengetahuan psikologi pada umumnya. Ilmu tersebut menguraikan tentang
kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial. Dari
berbagai pendapat tokoh-tokoh tentang pengertian psikologi social dapat
disimpulkan bahwa psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman
dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi sosial.
Sedangkan
latar belakang timbulnya psikologi sosial, banyak beberapa tokoh berpendapat,
semisal, Gabriel Tarde mengatakan, pokok-pokok teori psikologi sosial
berpangkal pada proses imitasi sebagai dasar dari pada interaksi sosial antar
manusia. Berbeda lagi dengan Gustave Le Bon, bahwa pada manusia terdapat dua
macam jiwa yaitu jiwa individu dan jiwa massa yang masing-masing berlainan
sifatnya.
Jiwa massa
lebih bersifat primitif (buas, irasional, dan penuh sentimen) dari pada
sifat-sifat jiwa individu. Berlaianan dengan Le Bon, Sigmund Freud berpendapat
bahwa jiwa massa itu sebenarnya sudah terdapat dan tercakup oleh jiwa individu,
hanya saja sering tidak disadari oleh manusia itu sendiri karena memang dalam
keadaan terpendam. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berpendapat dalam
buku yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan psikologi sosial.
Pada tahun
1950 dan 1960 psikologi sosial tumbuh secara aktif dan program gelar dalam
psikologi dimulai disebagaian besar universitas . Dasar mempelajari psikologi
sosial berdasarkan potensi –potensi manusia, dimana potensi ini mengalami
proses perkembangan setelah individu itu hidup dalam lingkungan masyarakat.
Potensi-potensi tersebut antara lain:
1.
kemampuan
menggunakan bahasa
2.
adanya
sikap etik
3.
hidup
dalam 3 dimensi (dulu, sekarang, akan datang )
Ketiga
pokok di atas biasa disebut sebagai syarat human minimum. Dengan demikian yang
tidak memenuhi human minimum dengan sendirinya sukar digolongkan sebagai
masyarakat. Obyek manusia mempelajari psikologi sosial adalah kegiatan-kegiatan
sosial / gejala-gejala sosial. Sedangkan metode sosial antara lain : a. Metode
Eksperimen, b. Metode survey, c. Metode Observasi, d. Metode diagnostik –
psychis, e. Metode sosiometri.
Sebagai ilmu
yang obyeknya manusia, maka terdapat saling hubungan antara psikologi sosial
dengan ilmu-ilmu lain yang obyeknya juga manusia seperti misalnya : Ilmu hukum,
Ekonomi, sejarah, dan yang paling erat hubungannya adalah sosiologi. Letak
psikologi sosial dalam sistematik psikologi termasuk dalam psikologi yang
bersifat empirik dan tergolong psikologi khusus yaitu psikologi yang
menyelidiki dan yang mempelajari segi-segi kekhususan dari hal-hal yang
bersifat umum dipelajari dalam lapangan psikologi khusus. Sedangkan kedudukan
psikologi sosial didalam lapangan psikologi termasuk dalam psikologi teoritis,
sedangkan psikologi sosial tergolong dalam psikologi teoritis.
Mengenai
psikologi sosial terdapat pertentangan faham diantara beberapa tokoh ilmu jiwa
social yang dalam garis besarnya dapat dikelompokan menjadi dua aliran yakni,
aliran subyektifisme yang menyatakan bahwa individulah yang membentuk masyrakat
dalam segala tingkah lakunya. Dan aliran kedua adalah, obyektivisme yang
merupkan kebalikan dari aliran subyektivisme, bahwa masyarakatlah yang
menentukan individu.
Urutan
kronologi perkembangan psikologi social adalah sebagai berikut :
1. 1898: Gabriel de Tarde
mempublikasikan Etudes de Psychologie Sociale (Studies of Social Psychology) yang banyak
membahas tentang imitasi, dasar teori belajar sosial dan konformitas. Dan dalam
American Journal of Psychology, Norman Triplett menggambarkan eksperimen
yang berkaitan dengan fasilitasi sosial.
2. 1908 : Edward Ross dan William
McDougall mempublikasikan buku teks Psikologi
Sosial
3. 1918 – 1920 : para psikolog sosial
(W. I. Thomas dan F. Znaniecki’s) mulai mendefinisikan
ranah mereka. Sikap menjadi konsep utama.
4. 1921 : The Journal of Abnormal
Psychology menjadi The Journal of Abnormal and Social
Psychology
5. 1924: Floyd
Allport mempublikasikan pengaruh social
6. 1934 : George Herbert Mead
mempublikasikan bukunya yang berjudul Mind, Self and Society yang menekankan pada interaksi antara diri (self) dan
orang lain
7. 1935 : Buku pegangan Psikologi
Sosial untuk pertama kalinya diterbitkan dengan Carl Murchinson sebagai editornya.
8. 1936 : Muzafer Sherif
menjelaskan proses konformitas dalam The Psychology of Social Norms
9. 1939 : Kurt Lewin, bersama dengan
muridnya Ronald Lippit dan Ralph White, melaporkan
studi eksperimental mengenai gaya-gaya kepemimpinan. Pada tahun yang sama, Dollar-Miller mengenalkan teori
frustasi-agresi
10.
1941 : Dalam Social Learning and Imitation,
Neal Miller dan Jhon Dollar mengemukakan teori yang perluasan dari
prinsip-prinsip behavioristik dalam perilaku social.
11. 1945 : Kurt Lewin mengemukakan
penelitian tentang Dinamika Kelompok
12. 1954 : Buku pegangan Psikologi
Sosial edisi modern diterbitkan dengan Gardner Linzey sebagai editornya.
13. 1957 : Leon Festinger mempublikasikan
A Theory of Cognitive Dissonance, yang menampilkan
suatu model yang menekankan pada konsistensi antara pemikiran dan perilaku
14.
1958
: Fritz Heider memberikan pondasi awal bagi teori atribusi melalui
publikasi pada The Psychological
of Interpersonal Behavior
15. 1959 : Jhon Thibaut dan
Harold Kelley mempublikasikan The Social Psychology of Group
yang merupakan pondasi bagi teori pertukaran social
16. 1965 : The Journal of Abnormal
and Social Psychology
terbagi dalam dua publikasi yang terpisah,
The Journal of Abnormal Psychology menjadi The Journal of Personality
and Social Psychology
17. 1985 : Edisi Ketiga buku pegangan Psikologi Sosial dipublikasikan dengan
Gardner Linzey dan Elliot
Aronson sebagai editornya.
C.
RUANG LINGKUP PSIKOLOGI SOSIAL
Psikologi sosial yang menjadi obyek studinya
adalah segala gerak-gerik atau tingkah laku yang timbul dalam konteks sosial
atau lingkungan sosialnya. Oleh karenanya masalah pokok yang dipelajari adalah
pengaruh sosial atau
perangsang sosial. Hal ini terjadi karena pengaruh sosial inilah yang mempengaruhi
tingkah laku individu. Berdasarkan inilah psikologi social membatasi diri
dengan mempelajari dan menyelidiki tingkah laku individu dalam hubungannya
dengan situasi perangsang sosial (Ahmadi, 2005).
Obyek
pembahasan dari psikologi sosial tidaklah berbeda dengan psikologi secara
umumnya. Hal ini bisa dipahami karena psikologi sosial adalah salah satu cabang
ilmu dari psikologi. Bila obyek pembahasan psikologi adalah manusia dan
kegiatannya, maka psikologi sosial adalah kegiatan-kegiatan sosialnya. Masalah
yang dikupas dalam psikologi umum adalah gejala-gejala jiwa seperti perasaan,
kemauan, dan berfikir yang terlepas dari alam sekitar. Sedangkan dalam psikologi sosial masalah yang
dikupas adalah manusia sebagai anggota masyarakat, seperti hubungan individu
dengan individu yang lain dalam kelompoknya.
Psikologi
sosial dalam membicarakan obyek pembahasannya dapat pula bersamaan dengan
sosiologi. Masalah-masalah sosial yang dibicarakan dalam sosiologi adalah kelompok-kelompok
manusia dalam satu kesatuan seperti macam-macam kelompok,
perubahan-perubahannya, dan macam-macam kepemimpinannya. Sedangkan dalam
psikologi sosial adalah meninjau hubungan individu yang satu dengan yang
lainnya seperti bagaimana pengaruh terhadap pimpinan, pengaruh terhadap
anggota, pengaruh terhadap kelompok lainnya. Persamaan-persamaan pembahasan
sebagaimana penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pembahasan
psikologi sosial berada pada ruang antara psikologi dan sosiologi. Titik
persinggungan inilah yang dalam sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan
memunculkan ilmu baru dalam lapangan psikologi, yakni psikologi sosial.
Psikologi sosial merupakan bagian dari psikologi yang secara khusus mempelajari
tingkah laku manusia atau kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungannya dengan
situasi-situasi sosialnya. (Ahmadi, 2002)
D.
PERSPEKTIF
DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Ada
empat perspektif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial., yaitu :
perilaku (behavioral
perspectives) , kognitif
(cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives),
dan interaksionis (interactionist perspectives). Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak
digunakan oleh para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering
menawarkan jawaban yang berbeda atas sebuah pertanyaan : "Seberapa besar
perhatian yang seharusnya diberikan oleh para psikolog sosial pada kegiatan
mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?". Perspektif perilaku
menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang, seyogyanya
kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih
baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan
kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak
terbantu memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental
tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran
negatif tentang sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negative
terhadap bangsa A misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan
bangsa A tersebut. Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan
sesuatu yang bisa menjelaskan perilaku seseorang. Sebaliknya, perspektif
kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami perilaku
seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak menanggapi
lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka
berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang
bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa
menjelaskan perilaku social seseorang.
Perspektif
struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial
yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah :
" Sejauh mana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial
?". Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat
dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi
karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang
ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena
masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak
pantas disebut sebagai "seorang ayah". Perspektif interaksionis lebih
menekankan bahwa manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya
sendiri, dan mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu
persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial.
1. Perspektif Perilaku
(Behavioral Perspective)
Pendekatan
ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup
banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-an s/d 1960-an.
Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini
tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami
perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada
pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi.
Dalam
hal ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya
percaya bahwa proses mental dan
juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial. Para
"behaviorist" memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan "tanggapan" (responses),
dan lingkungan ke dalam
unit "rangsangan" (stimuli). Menurut penganut paham perilaku,
satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama lainnya, dan menghasilkan
satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah rangsangan " seorang
teman datang ", lalu memunculkan tanggapan misalnya,
"tersen-yum". Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya.
Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan
tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang.
Kemudian,
B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan
yang dinamakan "operant behavior" dan "reinforcement".
Yang dimaksud dengan "operant condition" adalah setiap
perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara tertentu, lalu
memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Misalnya, jika
kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara umum, akan
menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam kasus ini,
tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan "operant behavior".
Yang dimaksud dengan "reinforcement" adalah proses di mana akibat
atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya, jika kapan
saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal
sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan bahwa
jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui,
reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan
penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu
dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau
bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang
asing kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam
pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih mendalam
mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa terjadi.
Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning
Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
a. Teori Pembelajaran
Sosial.
Di
tahun 1941, dua orang psikolog - Neil Miller dan John Dollard - dalam laporan
hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara
manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian
kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru
perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses
belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut
oleh Miller dan Dollard dinamakan "social learning " -"pembelajaran
sosial". Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi
karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang
lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa
belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka
"para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka
merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak
nyaman ketika tidak melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh
Miller dan Dollard.
Dua
puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963),
mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar
melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak
perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa
adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa
meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan
akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini
disebut "observational learning" - pembelajaran melalui pengamatan.
Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak
bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok
model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Menurut
versi Bandura, maka teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana
perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement)
dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita
miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita
mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan
observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
b. Teori Pertukaran
Sosial (Social Exchange Theory)
Tokoh-tokoh
yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut
dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson
(1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam
hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh
imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan
menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial,
teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat
hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita
umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut
dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut
terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan
keuntungan (profit).
Jadi
perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan
bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikanmaka perilaku terse but
tidak ditampilkan.
Berdasarkan
keyakinan tersebut Homans dalam bukunya "Elementary Forms of Social Behavior,
1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :"Semua
tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan
tertentu memperoleh imbalan,
makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi ".
Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu
akan berulang dilakukan jika ada imbalannya.
Inti
dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial
seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh
proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh
perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati
dengan lingkungan.
2. Perspektif Kognitif
(The Cognitive Perspective)
Kita
telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan alternative
yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping instink
(instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua
hal tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang
terlampau ekstrem - karena mengabaikan kegiatan mental manusia. Seorang
psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk peniruan,
satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri kita sendiri
dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau dengan konsep yang berbeda
seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan pandangan Baldwin. Keduanya
memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial yang melibatkan proses
mental atau kognitif .
Kemudian
banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk
memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan
Florian Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap,
yang diartikannya sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan
aktual dan potensial individu dalam dunia sosial". Sikap merupakan
predisposisi perilaku. Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain
adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency
Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi Kontemporer.
a.
Teori Medan (Field Theory)
Seorang
psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep
"medan"/"field" atau "ruang kehidupan" - life
space. Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional
para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan
kebiasaan), bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan
aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan
tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi. Dia merasa bahwa
semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian,
harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang
kehidupan"- individu dan lingkungan dipandang sebagai sebuah konstelasi
yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan"
merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang.
Lewin memaknakan "ruang kehidupan" sebagai seluruh peristiwa (masa
lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam satu
situasi tertentu. Intinya, teori medan berupaya menguraikan
bagaimana
situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya.
b.
Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude
Consistency and Attribution Theory)
Fritz
Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung
mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya,
jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga
orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance).
Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga
orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi
tidak seimbang (imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress),
kurang nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan
dengan orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita
sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap
tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita
sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi
itu, kita menjadi lebih nyaman.
Heider
memperkenalkan konsep "causal attribution" - proses penjelasan
tentang penyebab suatu perilaku. Dalam
kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan
atribut yang melekat pada
sifat dan kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external
causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi.
c.
Teori Kognitif Kontemporer
Dalam
tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah
"kognisi" digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri
seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang
manusia sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan
mengalihkan informasi. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui
struktur kognitif yang diberi istilah "schema" (Markus dan
Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut
berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial
yang kita miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan
dengan lingkungan, dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial.
Intinya,
teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi yang datangnya
dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif percaya
bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi
tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang
obyektif, lingkungan eksternal belum mencukupi.
3.
Perspektif Struktural
Telah
kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam
hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial
seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2)
karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental.
Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan
antara masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada
penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan
individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat -
atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas
jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi
struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke
generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur
sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan.
James
menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas "diri" (self)
- perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self.
Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan,
mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam
berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu
siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa,
laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung
pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi
persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan
- Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism)
a. Teori Peran (Role
Theory)
Walau
Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran,
namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah
mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam
terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan merupakan pemahaman bersama
yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori
ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter,
mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang
tadi berperilaku sesuai
dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia
adalah seorang dokter.
Kemudian,
sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori
peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap
masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku
tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat
tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid
sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia
delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belas tahun, mempunyai istri/suami
pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia
berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah
bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi
dinamakan “tahapan usia”
(age
grading).
b. Teori
Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori
ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas Stanford
pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu
peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok
kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok
membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai
dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan
tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi.
Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang
diharapkan adalah yang berkaitan dengan ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota
kelompok dituntut
memiliki motivasi dan
ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang
diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
c.
Posmodernisme (Postmodernism)
Baik
teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku social
dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa
psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori
posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras
terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam
masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya
– kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989;
Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi
peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas
kita digantikan oleh kumpulan citra
diri yang kita pakai sementara dan kemudian
kita
campakkan.
Berdasarkan
pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan
terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya
hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme,
menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa
diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa
dihasilkannya. Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai
konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia
menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi
keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia
lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar kemampuannya
mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan kita
sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan
seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat
kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja
Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga
mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain
sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka
tidak menyukai musik “rap”, dia bukan remaja. Perilaku seseorang ditentukan
oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan oleh dirinya
sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern,
demikian menurut pandangan penganut “posmo”. Intinya, teori peran,
pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural
dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku social individu.
Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang sedang
terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga
penghambat perilaku individual.
4. Perspektif
Interaksionis (Interactionist Perspective)
Seorang
sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi social
pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori ini. Mead
percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan
perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa
individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai
peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda.
Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead
tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa
perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial.
Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan social tersebut
juga telah membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia member
catatan bahwa walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu
kelompok/masyarakat, namun hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa
berkompromi dengannya.
Mead
juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku
sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang
teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya
dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek
internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia
menyebut aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”.
Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas
yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori
Identitas (Identity Theory).
a.
Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
Walau
Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial,
namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih
tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture)
tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang
berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerakisyarat yang maknanya diberi bersama
oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk
simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata
dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage),
baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna. Mead tertarik mengkaji
interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan
simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan
orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian
isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan
sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita
menangkap pikiran, perasaan orang lain
tersebut.
Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
b.
Teori Identitas (Identity Theory)
Teori
Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan perhatiannya
pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur social yang
lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua
sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur
sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan
perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit
kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap
kreativitas individu. Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori
peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran
yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita
sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak
peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk
interaksi, dipengaruhi oleh harapan
peran dan identitas diri kita, begitu juga
perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya,
teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang
aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial.
Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun
jika hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial,
maka hal tersebut kurang memadai.
E. KONSEP DASAR PSIKOLOGI SOSIAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT
·
Konsep Dasar Psikologi
Sosial
Sebagaimana ilmu-ilmu sosial, obyek pembahasan psikologi sosial
adalah terpusat kepada kehidupan manusia. Manusia adalah salah satu ciptaan Tuhan
yang memiliki kecerdasan, kesadaran, dan kemauan yang tinggi dibandingkan
dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Kelebihan inilah yang mendorong manusia
mampu menguasai alam, menaklukkan makhluk yang lebih kuat, dan menciptakan
segala sesuatu yang dapat menyempurnakan dirinya. Hal ini bisa tercapai karena
dalam diri manusia terdapat potensi yang selalu mengalami proses perkembangan
setelah individu tersebut berinteraksi dengan lingkungannya. Potensi-potensi
yang dimiliki manusia sehingga membedakan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang
lainnya adalah sebagai berikut (Ahmadi, 2002).
1. Kemampuan menggunakan
bahasa
Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ini hanyalah semata-mata
terdapat pada manusia dalam pengertian bisa merubah, menambah, dan
mengembangkan bahasa yang digunakan. Sedangkan pada binatang memang ada tetapi
masih sangat sederhana sekali dan terbatas pada bunyi suara yang merupakan
isyarat atau tanda-tanda.
2. Adanya sikap etik
Dalam setiap masyarakat pasti terdapat peraturan atau norma-norma
yang mengatur tingkah laku anggota-anggotanya baik itu masyarakat modern maupun
masyarakat yang masih terbelakang sekalipun norma tersebut merupakan ketentuan
apakah sesuatu perbuatan itu dipandang baik atau buruk. Norma tersebut tidak
selalu sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan adat
kebiasaan, agama, dan perkembangan kebudayaan umumnya dimana dia hidup.
Individu sebagai anggota masyarakat berusaha untuk berbuat sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat karena adanya sikap etik yang dimiliknya. Namun
demikian sesuai dengan tuntutan kebudayaan manusia berusaha untuk
menyempurnakan norma yang telah ada.
3. Hidup dalam 3 dimensi waktu
Manusia memiliki kemampuan untuk hidup dalam 3 dimensi waktu. Manusia
mampu mendasarkan tingkah lakunya pada pengalaman masa lalunya,
kebutahan-kebutuhan sekarang, dan tujuan yang akan dicapai pada masa yang akan
datang. Pengalaman-pengalaman masa lalu merupakan pegangan bagi
perbuatan-perbuatannya masa sekarang, sehingga kesalahan yang sama tidak akan
selalu terulang-ulang. Pengalaman-pengalaman yang tidak baik diingat untuk
tidak diperbuat lagi sedangkan pengalaman-pengalaman yang baik dipegang untuk
pedoman dalam kegiatan-kegiatannya masa kini yang kemudian kegiatan tersebut diarahkan
untuk mencapai tujuan yang akan datang dengan sebaik-baiknya. Dengan perkataan
lain bahwa manusia dapat merencanakan apa yang akan diperbuat dan apa yang akan
dicapai.
Ketiga potensi diatas oleh para ahli dijadikan sebagai syarat “
human minimum “. Oleh karenanya bila tidak terdapat ketiga potensi ini maka
akan sukar untuk dikelompokkan sebagai masyarakat manusia. Pemahaman ini
selanjutnya akan mendorong untuk meningkatkan kecakapan dan potensi diri
pribadinya. Dengan potensinya tersebut, manusia juga disebut sebagai makhluk monopluralis.
Disebut demikian karena manusia dapat dipandang sebagai makhluk individu,
sosial, dan ber-Tuhan.
1. Makhluk
individu
Manusia sebagai makhluk individual berarti manusia itu merupakan
suatu totalita. Individu berasal dari kata in-dividere, yang berarti tidak
dapat dipecah-pecah. Dalam aliran modern, ditegaskan bahwa jiwa manusia itu merupakan
satu kesatuan jiwa raga yang berkegiatan secara keseluruhan.
2. Makhluk sosial
Manusia tidaklah mungkin hidup sendiri tanpa adanya komunikasi
dengan manusia yang lainnya. Sejak dilahirkan manusia membutuhkan bantuan orang
lain, ia memerlukan bantuan makan, minum, dan memenuhi kebutuhan biologisnya.
Demikian pula setelah tumbuh lebih besar, berbicara, belajar, berjalan,
mengenal benda, mengenal norma, dan sebagainya selalu membutuhkan bantuan orang
lain di sekitarnya.
3. Makhluk ber –Tuhan
Sebagai manusia yang beragama, dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan
dari pengakuan terhadap Tuhan. Hanya mereka yang tergolong atheis saja yang
tidak mengakui adanya Tuhan.
·
Implementasi Psikologi
Sosial dalam Kehidupan Masyarakat
Implementasi
psikologi sosial adalah penerapan hasil studi psikologi sosial dalam membantu
memecahkan problematika sosial yang terjadi pada kehidupan sehari-hari
masyarakat. Dalam setiap masalah atau kasus yang
terjadi di masyarakat pada umumnya disebabkan adanya ketidakseimbangan perhatian
atau pembinaan terhadap kedua aspek yang ada dalam diri manusia, yakni : aspek
jasmani (raga) dan aspek rohani (jiwa). Keseimbangan kedua aspek tersebut
sangat berpengaruh terhadap setiap perilaku individu ketika menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi dalam berinteraksi dengan masyarakatnya. Terkait hal di atas
dapat dicontohkan dalam kasus sebagai berikut : seorang remaja yang berusia 18
tahun yang sedang duduk di bangku SMA memiliki sifat introvert. Lingkungan yang
keras dan minimnya pengetahuan tentang keagamaan telah membesarkannya menjadi
orang yang mudah terpengaruh pada situasi dan
kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain dari lingkungan sekitarnya, kasus yang
terjadi pada anak ini juga dilator belakangi oleh keadaan keluarganya yang
broken home sehingga mengakibatkan pengaruh-pengaruh yang buruk dari lingkungan
keluarga juga dengan mudah memasuki kehidupannya. Hampir tiap malam anak ini
bergaul dengan teman di lingkungannya yang sering berjudi dan mabuk-mabukan sehingga
proses pendidikannya terganggu.
Terkait dengan kasus kenakalan remaja di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengaruh lingkungan yang buruk dan kurangnya perhatian orang
tua (broken home) sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan dan
kerohanian pada diri anak. Dalam hal ini yang paling utama adalah penanaman
jiwa keagamaan anak sejak dini. Jadi, peranan keagamaan pada diri anak sangat
penting dalam kehidupannya, karena dengan pendidikan agama diharapkan dapat
menyaring segala sesuatu yang bersifat negative dalam kehidupan bermasyarakat
(Arifin, 2004). Studi pada kasus diatas
memberikan ilustrasi bahwa betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap
perilaku individu dalam kelompok sosial. Psikologi sosial dalam hal ini membantu
memberikan pemecahan persoalannya dengan upaya pendidikan keagamaan. Perangsang
sosial yang berupa pendidikan keagamaan dan lingkungan sosial yang penuh dengan
kekeluargaan diharapkan mampu merubah perilaku individu menjadi lebih baik, sehingga
secara bertahap persoalan mendasar dari pengaruh buruk lingkungan akan terkikis
dan tergantikan dengan pengaruh yang baik dari pendidikan keagamaan.
KESIMPULAN
1.
Psikologi
sosial
adalah suatu studi tentang hubungan antara manusia dan kelompok. Secara
sederhana objek material dari psikologi sosial adalah fakta-fakta,
gejala-gejala serta kejadian-kejadian dalam kehidupan sosial manusia.
2.
Obyek pembahasan dari psikologi sosial tidaklah
berbeda dengan psikologi secara umumnya. Bila obyek pembahasan
psikologi adalah manusia dan kegiatannya, maka psikologi sosial adalah
kegiatan-kegiatan sosialnya.
3.
Ada empat perspektif yang bisa digunakan
untuk memahami perilaku sosial., yaitu : perilaku (behavioral perspectives) , kognitif (cognitive
perspectives), stuktural (structural
perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).
4.
Psikologi
social memandang bahwa manusia memiliki potensi dasar yang selalu mengalami
proses perkembangan setelah individu tersebut berinteraksi dengan
lingkungannya, berupa kemampuan menggunakan bahasa, adanya sikap etik dan
kemampuan hidup dalam 3 dimensi waktu.
5.
Implementasi psikologi sosial
adalah penerapan hasil studi psikologi sosial dalam membantu memecahkan
problematika sosial yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Implementasi
psikologi sosial dalam kehidupan masyarakat mengutamakan prinsip keseimbangan
pada dua aspek yang ada dalam diri manusia, yakni : aspek jasmani (raga) dan
aspek rohani (jiwa). Keseimbangan kedua aspek tersebut sangat berpengaruh
terhadap setiap perilaku individu ketika menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi dalamberinteraksi dengan masyarakatnya
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.psychologymania.com/2011/09/sejarah-dan-defenisi-psikologi-sosial.html
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta
0 komentar:
Post a Comment